BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah
Kesetaraan gender adalah istilah yang banyak diucapkan oleh para aktivis
sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Istilah
kesetaraan gender secara praktis hampir selalu diartikan sebagai kondisi
"ketidaksetaraan" yang dialami oleh para perempuan. Maka, istilah
kesetaraan gender sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap
perempuan, subordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil dan semacamnya. Dengan
kata lain, kesetaraan gender juga berarti adanya kesamaan kondisi bagi
laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai
manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum,
ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional
(hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan
struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Oleh
karena, banyak bermunculan program atau kegiatan, terutama dilakukan oleh
beberapa LSM, untuk memperbaiki kondisi perempuan, yang biasanya berupa
pelatihan tentang isu-isu gender, pembangkitan kesadaran perempuan dan
pemberdayaan perempuan dalam segi kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.
Pemerintah pun juga tidak tinggal diam di dalam melakukan pencapaian hasil dari
kesetaraan gender. Salah satu target yang diharapkan dapat dicapai pemerintah
terkait dengan kesetaraan gender ini adalah dengan menghilangkan ketimpangan
gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada 2005 dan di semua jenjang
pendidikan tidak lebih dari tahun 2015.
B. Rumusan
Masalah
Kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan dan Ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada 2005 dan di semua jenjang
pendidikan tidak lebih dari tahun 2015
C. Tujuan
Mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan dan menghilangkan ketimpangan gender di tingkat
pendidikan dasar dan lanjutan
pada 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015
Dengan indicator :
1. Menyeimbangkan
rasio anak perempuan tehadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar,
lanjutan, dan tinggi, yang diukur melalui angka partisipasi murni anak
perempuan terhadap anak laki-laki.
2. Rasio
melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15–24 tahun, yang diukur melalui
angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas melek huruf gender).
3. Kontribusi
perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor pertanian.
4. Proporsi
kursi DPR yang diduduki perempuan.
BAB II
PEMBAHASAN
UUD 1945 Pasal 28B ayat (1) mengamanatkan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan
mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi
meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia” dan pasal 31
ayat 1 mengamanatkan bahwa ”setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
Masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan
yang cukup lebarantarkelompok masyarakat seperti antara penduduk kaya dan
penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara
penduduk di perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah.
Keadaan dan kecenderungan Indonesia telah mencapai kemajuan dalam
meningkatkan kesetaraan dan keadilan pendidikanbagi penduduk laki-laki dan
perempuan. Hal itudapat dibuktikan antara lain dengan semakin membaiknya rasio
partisipasi pendidikan dan tingkatmelek huruf penduduk perempuan terhadap penduduk
laki-laki, kontribusi perempuan dalam sektor non-pertanian, serta partisipasi
perempuan dibidang politik dan legislatif. Untuk mengukur kesenjangan partisipasi
pendidikan antara penduduk perempuan dan penduduk laki-laki digunakan rasio
Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK).Indikator itu
diperlukan karenaadanya perbedaan yang relatif besar antara jumlahpenduduk perempuan
dan penduduk laki-laki sehingga rasio jumlah siswa saja belum dapat menggambarkan
kesetaraan dan keadilan gender. APK juga digunakan mengingat masih tingginya
siswaberusia lebih tua dari kelompok usia yang semestinya (overage) sehingga
APM baik di tingkat SD/MI,SLTP/MTs maupun SLTA jauh lebih rendah dibandingkan
APK.
A. PENDIDIKAN DASAR, MENENGAH DAN TINGGI.
Akses ke pendidikan.Pada jenjang
pendidikandasar (SD/MI dan SLTP/MTs) rasio APM-nya telahmencapai angka 100 %.
Pada jenjang SLTA rasio APM selama sepuluh tahun terakhir berkisar antara 95
dan 100,4 %,dan nilai pada 2002 adalah 97,1 %.
Secara keseluruhan, Indonesia telah
mencapaikemajuan yang berarti dalam mencapai kesetaraangender di bidang pendidikan.
(Gambar 3.1).
1. Pendidikan dasar dan lanjutan.
Terdapat kesetaraan gender di
tingkat sekolah dasar, namun rasiodi sekolah lanjutan pertama cenderung lebih
dari100 %. Hal ini menunjukkan proporsi perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki
(Gambar 3.2).
Diperlukan analisis lebih lanjut
mengapapartisipasi penduduk laki laki relatif lebih rendahdibandingkan
perempuan.
2. Sekolah lanjutan atas dan
perguruan tinggi.
Faktor yang menghambat akses
perempuan kesekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi di antaranya :
·
akses yang
masih terbatas
·
jumlah sekolah
yang terbatas
·
jarak tempuh
yang jauh
Faktor tersebut diduga lebih
membatasi anak perempuan untuk bersekolah dibandingkan lakilaki.Perkawinan dini
juga diduga menjadi sebab mengapa perempuan tidak melanjutkan sekolah ke
jenjang yang lebih tinggi.
Di tingkat perguruan tinggi, rasio
angka partisipasi perempuan terhadap lakilaki meningkat dari 85,1% pada 1992
menjadi 92,8 % pada 2002. Namun terjadi penurunan pada 1997 dan 1998 yang
mungkin berhubungan dengan krisis ekonomi yang menurunkan kemampuan keluarga
untuk membiayai pendidikan.
v Pandangan bias gender
Gejala pemisahan gender (gender
segregation) dalam jurusan atau program studi sebagai salah satu bentuk
diskriminasi gender secara sukarela (voluntary discrimination) ke dalam bidang
keahlian masih banyak ditemukan.
Pemilihan jurusan-jurusan bagi anak
perempuan lebih dikaitkan dengan fungsi domestik, sementara itu anak laki-laki
diharapkan berperan dalam menopang ekonomi keluarga sehingga harus lebih
banysak memilih keahlian-keahlian ilmu keras, tehnologi dan industri.
Penjurusan pada pendidikan menengah
kejuruan dan pendidikan tinggi menunjukkan masih terdapat stereotipi dalam
sistem pendidikan di Indonesia yang mengakibatkan tidak berkembangnya pola
persaingan sehat menurut gender.Sebagai contoh bidang ilmu sosial pada umumnya
didominasi siswa perempuan,sementara bidang ilmu teknis umumnya didominasi
siswa laki-laki.
Pada tahun ajaran 2000/2001,
persentase siswa perempuan yang bersekolah diSMK program studi teknologi
industri baru mencapai 18,5%, program studi pertanian dan kehutanan 29,7 %,
sementara untuk bidang studi bisnis dan manajemen 64,6 %.
v Keragaman antarkelompok pengeluaran keluarga.
Hipotesis bahwa semakin rendah
tingkat pengeluaran keluarga semakin rendah pula rasio partisipasi penduduk
perempuan terhadap laki-laki tidak tampak pada jenjang SD/MI dan SLTP/MTs.
Susenas 2002 mengungkapkan bahwa APM
penduduk perempuan pada kelompok miskin (kuantil 1atau 20 %terbawah dari
tingkat pengeluaran keluarga) sama atau sedikit lebih tinggi dibanding penduduk
laki-laki (Gambar 3.3).
Hal itu diduga karena faktor
kemiskinan menyebabkan anak laki-laki secara budaya harus bekerja dibandingkan
anak perempuan.
Kondisi itu berbeda pada kelompok 20
%terkaya (kuantil 5) dengan angka partisipasi penduduk laki-laki lebih tinggi
dibanding penduduk perempuan pada semua jenjang pendidikan. Analisis terhadap
angka partisipasi kasar menunjukkan kecenderungan yang sama pula (Gambar 3.4).
Namun apabila angka partisipasi
pendidikan dibandingkan antara penduduk kaya dan penduduk miskin, dapat
disimpulkan bahwa partisipasi penduduk miskin masih jauh tertinggal dibanding
penduduk kaya terutama pada jenjang SLTP-MTs ke atas baik pada penduduk
laki-laki maupun penduduk perempuan.
Karena itu, tantangan yang dihadapi
adalah meningkatkan partisipasi pendidikan penduduk laki-laki dan perempuan
pada kelompok miskin.
v Keragaman antara perkotaan dan pedesaan.
Tidak terdapat perbedaan rasio APM
dan APK antara perkotaan dan pedesaan di jenjang sekolah dasar dan sekolah
lanjutan pertama.Namun pada jenjang SLTA partisipasi pendidikan penduduk
perempuan di pedesaan sedikit lebih tinggi dibandingkan didaerah perkotaan
(Gambar 3.5 dan 3.6).
B.
TINGKAT MELEK HURUF
v Indeks paritas
Data Susenas menunjukkan terjadinya
perbaikan tingkat melek huruf pendudukdi Indonesia. Secara nasional tingkat
melek hurufpenduduk usia 15–24 tahun ke atas meningkat dari96,2 % pada 1990
menjadi 98,7 % pada2002 (lihat Tujuan 2).
Namun kesenjangan tingkatmelek huruf laki-laki
dan perempuan semakin kecil,yang ditunjukkan oleh meningkatkan rasio angkamelek
huruf penduduk perempuan terhadap penduduk laki-laki usia 15–24 tahun, yaitu
dari 97,9% pada 1990 menjadi 99,8 % pada 2002.
Apabila kelompok penduduk usia
diatas 24 tahun diperhitungkan (15 tahun ke atas),maka tingkat kesenjangan
tingkat melek hurufpenduduk laki-laki dan perempuan menjadi semakin lebar (Gambar
3.7).
v Keragaman tingkat melek huruf menurut pengeluaran keluarga.
Tingkat melek huruf penduduk
perempuan naik secara berarti pada semuakelompok pengeluaran keluarga dan
sepanjangtahun.Tidak terdapat perbedaan tingkat melekhuruf yang besar antara perempuan
dan laki laki disemua kelompok (Gambar 3.8).
v Keragaman tingkat melek huruf antara perkotaan dan pedesaan.
Secara umum dapat disimpulkanbahwa tingkat
melek huruf penduduk usia 15–24tahun di pedesaan tidak memiliki perbedaan yangsignifikan
dibandingkan penduduk perkotaan. Halini ditunjukkan oleh angka melek huruf
pendudukusia 15–24 tahun yang hanya sedikit lebih tinggi diperkotaan dibanding
pedesaan baik untuk laki-lakimaupun perempuan untuk semua kelompok pengeluaran
keluarga (Gambar 3.9).
Apabila kisaranusia diperlebar
menjadi 15 tahun ke atas, tampakbahwa kesenjangan tingkat melek huruf
penduduklaki-laki dan perempuan di pedesaan (rasio 89, 1%) lebih besar
dibanding penduduk perkotaan (rasio 94,5%) (Gambar 3.10).
v Keragaman tingkat melek huruf antar provinsi.
Sementara rata-rata nasional angka
melek hurufpenduduk perempuan sudah mendekati 100 %, masih terdapat beberapa
provinsi yang angka melek huruf perempuan dan/atau laki-lakinya lebihrendah
dari rata-rata nasional, yaitu Papua, NTB, Jawa Timur, Bali; dan beberapa di
atas rata-ratanasional, seperti Sulawesi Selatan, Gorontalo, danNTT (Tabel
3.2).
C. KONTRIBUSI PEREMPUAN TERHADAP
UPAH DI SEKTOR NON-PERTANIAN
Kecenderungan. Kontribusi penduduk
perempuandalam pekerjaan upahan (wage employment) untuksektor non-pertanian
mengalami peningkatan dari1996 sampai dengan 1998, yaitu dari 28,3%menjadi 37,6
%(Gambar 3.11).
Peningkatankontribusi terjadi di
hampir semua provinsi. Beberapa provinsi seperti Jawa Tengah, DI
Yogyakarta,Bali, NTB, dan NTT bahkan telah mencapai lebihdari 50 %. Namun sejak
1998 kontribusi perempuan itu menurun dari tahun ke tahun sehinggamenjadi 28,26%
pada 2002.
Kecenderunganpenurunan terjadi
hampir di semua provinsi.Kondisi itu diduga terkait dengan krisis ekonomi
yangterjadi sejak 1997 yang menyebabkan banyaknyapemutusan hubungan kerja yang
lebih banyak terjadi pada pekerja perempuan.
D. PARTISIPASI
PEREMPUAN DALAM PARLEMEN
Pada periode 1992–1997, proporsi
perempuan di DPR adalah 12 %. Pada periode keanggotaan 1999-2004, dari seluruh
anggota DPR yang berjumlah 500 orang, hanya 45 orang di antaranya atau 9,9 % yang
perempuan.Dan pada periode 2004-2009 adalah 11,6%.(Tabel 3.4).
Namun terdapat 82 % anggota DPR perempuan yang
lulus perguruan tinggi. Ini lebih banyak dibandingkan anggota DPR laki laki
dengan tingkat pendidikan yang sama, yaitu 75 %.
E. TANTANGAN
Tantangan yang dihadapi dalam rangka
menghapuskan kesenjangan gender antara lain adalah :
·
Meningkatkan
kualitas hidup dan peran perempuan disegala bidang pembangunan, terutama
dibidang pendidikan kesehatan, ekonomi dan pengambilan keputusan
·
Merevisi peraturan
perundang-undangan yang bias gender/ deskriminatif terhadap perempuan
·
Meningkatkan
kesempatan kerja dan partisipasi perempuan dalam pembangunan politik dan
melaksanakan strategi pengarusutamaan gender diseluruh tahapan pembangunan dan
diseluruh tingkat pemerintahan (nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota)
·
Dibidang
pendidian tantangan yang dihadapi antara lain yaitu : meningkatkan kualitas dan
relevansi pendidikan, menyediakan pelayanan pendidikan secara lebih luas dan
beragama, dan menyempurnakan seluruh materi bahan ajar agar responsive gender.
F. KEBIJAKAN DAN PROGRAM
Kebijakan.
Untuk mencapai target, kebijakan
yang diambil adalah
·
mewujudkan
persamaanakses pendidikan yang bermutu dan berwawasan gender bagi semua anak
laki-laki dan perempuan;
·
menurunkan
tingkat buta huruf penduduk desa terutama penduduk perempuan melalui
peningkatan kinerja pendidikan pada setiap jenjang pendidikan, baik melalui
sekolah maupun luar sekolah,
·
pendidikan
kesetaraan dan pendidikan baca tulis fungsional bagi penduduk dewasa
·
meningkatkan
kemampuan kelembagaan pendidikan dalam mengelola dan mempromosikan pendidikan
yang berwawasan gender.
Untuk meningkatkan akses masyarakat
terhadap pendidikan yang lebih berkualitas, kebijakan diarahkan pada
penyelenggaraan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, penurunan secara
signifikan jumlah penduduk yang buta aksara, pengingkatan keadilan dan
kesetaraan pendidikan antar kelompok masyarakat termasuk antara penduduk
laki-laki dan perempuan.
Strategi.
Kebijakan itu dilaksanakan melalui
limastrategi utama, yaitu:
·
penyediaan
akses pendi-dikan yang bermutu, terutama pendidikan dasar secara merata bagi
anak laki-laki dan perempuanbaik melalui pendidikan persekolahan maupun pendidikan
luar sekolah
·
penyediaan
akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat
mengikuti pendidikan sekolah
·
peningkatan
penyediaan pelayanan pendidikan baca tulis untuk meningkatkan derajat melek
huruf, penduduk terutama koordinasi, informasi, dan edukasi dalam rangka
mengarusutamakan pendidikan berwawasan gender
·
pengembangan
kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai
pendidikan berwawasan gender.
Sasaran.
Sasaran kinerja pendidikan berwawasangender
yang ingin dicapai dalam akses pendidikan adalah
·
meningkatnya
partisipasi pendidikan penduduk usia sekolah yang diikuti dengan semakin
seimbangnya rasio siswa laki-laki dan perempuan, peningkatan perempuan untuk
semua jenjang pendidikan;
·
meningkatkan
partisipasi penduduk miskin laki-laki dan perempuan terutama yang tinggal di
daerah pedesaan yang masih rendah sehingga menjadi setara dengan penduduk dari
kelompok kaya
·
meningkatkan
derajat melek huruf penduduk baik laki-laki maupun perempuan dengan rasio yang
semakin setara.
Prioritas.
Kondisi kesetaraan gender dalam
pendidikan yang beragam seperti diuraikan pada bagiansebelumnya memerlukan
bentuk-bentuk intervensiyang bervariasi sehingga berbagai program
yangdilaksanakan benar-benar dapat menurunkan kesenjangan pendidikan antara laki-laki
dan perempuan.
Untuk jenjang sekolah dasar atau
kelompokpenduduk usia 7–12 tahun, dengan rasio siswa laki-laki dan perempuan
yang sudah baik, penentuanprioritas perlu mempertimbangkan keragaman antar
wilayah atau provinsi dan kelompok pendapatan.
Pada jenjang SLTP/MTs atau kelompok
usia 13–15tahun diketahui bahwa partisipasinya masih cukuprendah. Karena itu,
upaya peningkatan partisipasiharus diupayakan baik pada penduduk laki-laki
danperempuan.Namun dengan diketahuinya artisipasi pendidikan penduduk laki-laki
kelompok 40persen termiskin lebih rendah dibandingkan penduduk perempuan, upaya
yang lebih intensif untuk meningkatkan partisipasi kelompok itu
sangatdiperlukan.Dengan asumsi bahwa partisipasi pendidikan yang lebih rendah
itu salah satunya karenabekerja, upaya untuk mengembalikan mereka kesekolah
menjadi sangat penting.
Untuk meningkatkan pendidikan baca
tulis, sangat jelas bahwatingkat melek huruf penduduk perempuan masihjauh lebih
rendah dibandingkan dengan penduduk laki-laki baik di pedesaan maupun di
perkotaan,di setiap kelompok usia penduduk dewasa, dan di setiap kelompok
pengeluaran keluarga. Namun prioritas utama diberikan pada upaya peningkatan
kemampuan baca tulis penduduk perempuanyang miskin, yang tinggal di daerah
perdesaan danberusia lebih dari 25 tahun karena kelompok inilahyang memiliki
tingkat melek huruf paling rendahyang diikuti oleh penduduk laki-laki kelompok
usiayang sama, yang miskin dan tinggal di perdesaan.
Seluruh upaya untuk meningkatkan
partisipasi pendidikan dan tingkat melek huruf penduduk tersebut di atas
didukung dengan upaya peningkatankemampuan kelembagaan pendidikan
sehinggamemiliki kemampuan dalam merencanakan pendidikan yang tanggap gender,
disamping meningkatkan pemahaman semua pihak mengenai pentingnya pendidikan
baik untuk laki-laki maupunperempuan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi
program-program pembangunan jangka menengah dan tahunan terus dikembangkan agar
responsive gender.Program-program tersebut ditujukan untuk meningkatkan
kualitas hidup dan perlindungan perempuan, terutama di bidang pendidikan,
kesehatan, hokum, ketenagakerjaan, social, politik, lingkungan hidup dan
ekonomi. Program lainnya yang dilakukan adalah memperkuat pengarusutamaan
gender, terutama ditingkat kabupaten/ kota.
Dan
berbagai kebijakanpun dilakukan guna : meningkatkan keterlibatab perempuan
dalam proses politik dan jabatan public, meningkatkan taraf pendidikan dan
layanan kesehatan serta bidang pembangunan lainnya untuk mempertinggi kualitas
hidup perempuan, menyempurnakan perangkat hukum untuk melindungi setiap
individu dari berbagai tindak kekerasan, ekspolitasi dan diskriminasi, dan
memperkuat kelembagaan, koordinasi dan jaringan pengarustamaan gender dalam
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari berbagai kebijakan,
program dan kegiatan pembangunan di segala bidang, termasuk pemenuhan
komitmen-komitmen internasional, penyediaan data dan statistic gender, serta
peningkatan partisipasi masyarakat.
B. SARAN
Untuk
meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas, kebijakan diarahkan
pada penyelenggaraan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Untuk
penurunan secara signifikan jumlah penduduk yang buta huruf, dan peningkatan
keadilan dan kesetaraan pendidikan antarkelompok masyarakat termasuk antara
penduduk laki-laki dan perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
www.google.com
dikutip dari wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia
http://www.google.mendorong
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.com
Chiongson
Rea Abada, United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women. Jakarta : 2010
0 Komentar